Sufa'at M - Sejarah Kebatinan di Jawa Part 3: Islam Masuk (2)

Tidak ada komentar

Sufa'at M - Sejarah Kebatinan di Jawa

Dengan semakin majunya perdagangan Kerajaan Majapahit di dunia internasional, pelaut dan pedagang Jawa semakin sering berhubungan dengan orang-orang Islam di Malaka, yang saat itu merupakan pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara. Raja Malaka telah memeluk Islam dan mendukung penyebaran agama tersebut. Akibatnya, semakin ramai perdagangan Majapahit, semakin banyak pula orang Jawa yang terpengaruh oleh Islam. Di pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa, jumlah orang Islam, baik dari Jawa sendiri maupun dari Persia dan Gujarat, semakin bertambah. Pelabuhan-pelabuhan ini akhirnya menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa—dengan orang-orang Islam menguasai perdagangan dan ekonomi kerajaan. Karena Persia dan Gujarat secara ekonomi dan budaya lebih maju daripada penduduk Jawa pada umumnya, maka para pedagang Muslim berusaha mengislamkan pedagang Jawa yang belum memeluk Islam dengan cara menyudutkan mereka dalam dunia perdagangan. Akhirnya, banyak pedagang Jawa yang masuk Islam. Karena dengan masuk Islam akan menguntungkan bisnis mereka. Sedangkan mereka yang tidak masuk Islam akan mengalami kesulitan dalam perdagangan.

Para bangsawan merasa terhormat jika putri-putri mereka menikah dengan pedagang-pedagang asing tersebut. Oleh karena itu, banyak bangsawan juga menjadi Muslim. Sebagian dari mereka masuk Islam karena alasan ekonomi dan politik, terutama di daerah pantai utara Jawa seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik, dan Surabaya, di mana kekuatan Islam semakin kuat. Rakyat semakin banyak yang masuk Islam karena pengaruh para pedagang dan syahbandar⁶ yang menguasai ekonomi dan pelabuhan, yang seolah-olah sudah menjadi penguasa kecil di wilayah tersebut. Apalagi, saat kerajaan Majapahit mulai melemah, para bangsawan merasa tidak punya pilihan lain selain masuk Islam, yang kemudian diikuti oleh semakin banyak rakyat di daerah mereka.⁷

⁶ Syahbandar adalah sebutan untuk pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan pengawasan pelabuhan serta perdagangan di sebuah wilayah, terutama pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara. Tugas syahbandar meliputi mengatur kegiatan kapal-kapal yang datang dan pergi, memungut pajak, menjaga keamanan pelabuhan, serta memfasilitasi hubungan antara pedagang lokal dan asing. Syahbandar sering memiliki pengaruh yang besar dalam ekonomi pelabuhan dan kadang-kadang berperan penting dalam penyebaran agama Islam, terutama di kawasan pesisir.

⁷ Sufa'at M, "Beberapa Pembahasan tentang Kebatinan", Cetakan Pertama (Yogyakarta: Kota Kembang, 1985), hlm. 42.

Dalam masyarakat Jawa saat itu, terdapat tiga golongan kepercayaan:

    1. Golongan Santri (Islam-putihan)
    • Golongan Santri adalah kelompok orang Jawa yang taat beragama Islam. Namun, mereka masih memiliki unsur-unsur Animisme-Dinamisme, Hindu-Buddha, dan Budaya-Jawa. Ciri khas golongan ini adalah ketaatan mereka dalam menjalankan shalat lima kali sehari dan berpuasa di bulan Ramadhan.
    • Keadaan ini terjadi karena para wali, yang menyebarkan Islam di Jawa, bersikap lunak terhadap kepercayaan lama. Mereka adalah orang-orang Tasauf yang cukup toleran dan memahami bahwa masa mereka adalah masa transisi.
    2. Golongan Abangan (Islam Abangan atau Islam Kejawen)
    Golongan ini terbagi menjadi dua kelompok sesuai dengan status sosial-ekonominya:
    • a) Golongan wong cilik, kelompok yang dasar kepercayaannya adalah Animisme-Dinamisme. Dulu, kepercayaan mereka dilengkapi dengan unsur Hindu-Buddha dan budaya Jawa. Sekarang, mereka juga menambahkan unsur Islam. Islam di sini menjadi tambahan, bahkan menjadi semacam pembungkus. Kelompok ini biasanya terdiri dari rakyat biasa, yang merupakan kelas paling bawah dalam masyarakat. Meskipun mengadopsi Islam, mereka tetap mempertahankan acara-acara tradisional seperti slametan atau sesaji, yang menjadi bagian inti dari kepercayaan mereka. Orang-orang dalam kelompok ini memiliki ikatan kepercayaan yang sama di daerah mereka dan tidak berhubungan dengan kelompok serupa di daerah lain⁸. Konsep Mu'jizat dan Karamah dalam Tasauf cukup menarik bagi mereka sehingga mereka menempelkan identitas Islam pada diri mereka.
    • b) Golongan Priyayi (keluarga istana dan pejabat pemerintahan), golongan ini masih didasarkan pada mistik Hindu-Buddha. Perbedaannya adalah jika sebelumnya hanya dilengkapi dengan unsur-unsur Budaya Jawa dan Animisme-Dinamisme, sekarang mereka menambahkan unsur Islam. Namun, unsur Islam ini lebih digunakan untuk melengkapi istilah-istilah dalam ajaran mistik mereka, bukan sebagai inti dari kepercayaan mereka. Ini karena mistik priyayi sulit diselaraskan dengan ajaran Tasauf yang murni dalam Islam. Dalam mistik priyayi, tidak ada perbedaan antara Tuhan yang Mutlak dan manusia, sementara dalam Islam, Tuhan jelas berbeda dari manusia. Dalam mistik priyayi, persatuan antara manusia dan Tuhan tergantung pada usaha manusia, sedangkan dalam Tasawuf (mistik Islam), "kasyf" (terbukanya tirai antara manusia dan Tuhan) adalah anugerah dari Tuhan, bukan hasil usaha manusia semata. Manusia hanya bisa memohon dan mempersiapkan diri.

⁸ Maksudnya orang-orang dalam kelompok ini memiliki kepercayaan yang sama dan kuat di wilayah tempat mereka tinggal. Namun, mereka tidak berinteraksi atau terhubung dengan kelompok-kelompok lain yang memiliki kepercayaan serupa tetapi tinggal di daerah yang berbeda. Jadi, keyakinan mereka cenderung bersifat lokal dan tidak tersebar atau terjalin dengan kelompok serupa di tempat lain.

Meskipun ada perbedaan mendasar, golongan priyayi tidak merasa kesulitan menerima beberapa konsep dalam Tasawuf yang mirip dengan ajaran mereka, seperti Wihdatul Wujud (segala sesuatu adalah Tuhan), Al-Fana' Al-Baqa' (kesadaran bahwa diri manusia sebenarnya tidak ada), Hulul (Tuhan berada dalam diri manusia), dan Al-Ittihad (Tuhan bersatu dengan manusia).

Golongan ini memiliki ciri khas dalam memperdalam kehidupan batin atau spiritual ("rasa"). Mereka sering melakukan semedi (meditasi) atau kegiatan serupa. Karena itu, dari golongan ini banyak muncul tokoh-tokoh aliran Kebatinan, Mistik Jawa, atau Kejawen.⁹

⁹ Sufa'at M, "Beberapa Pembahasan tentang Kebatinan", Cetakan Pertama (Yogyakarta: Kota Kembang, 1985), hlm. 44.


Daftar Isi:


Sufa'at M - Sejarah Kebatinan di Jawa

Komentar