Ibnu Mas'ud r.a. berkata: "Jika hanya tersisa sepuluh hari dari hidupku, aku akan memilih menikah agar aku tidak menemui Allah dalam keadaan lajang."
Ma'az bin Jabal juga berkata: "Setelah kedua istriku meninggal karena kolera dan aku juga terkena penyakit yang sama, nikahkanlah aku. Aku tidak ingin bertemu dengan Allah sebagai orang lajang."
Keterangan dari Ibnu Mas'ud dan Ma'az bin Jabbal menunjukkan bahwa mereka memandang pernikahan sebagai sesuatu yang penting, bukan hanya untuk menjaga hawa nafsu. Umar r.a. sering menikah dan mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk memiliki anak. Beberapa sahabat memilih untuk melayani Rasulullah s.a.w. dan tinggal bersamanya untuk keperluan beliau. Ketika Rasulullah s.a.w. bertanya mengapa mereka tidak menikah, mereka menjawab bahwa mereka miskin dan lebih memilih untuk berkhidmat kepada beliau.
Mendengar jawaban itu, Nabi s.a.w. diam sejenak, lalu mengulangi pertanyaannya, dan sahabat itu menjawab sama seperti sebelumnya. Kemudian sahabat itu berpikir dan berkata, "Demi Allah, Rasulullah s.a.w. pasti lebih tahu apa yang terbaik untuk dunia dan akhiratku, serta apa yang mendekatkanku kepada Allah, dibandingkan diriku sendiri. Jika beliau menanyakan untuk ketiga kalinya, aku akan melakukannya." Ketika Rasulullah s.a.w. bertanya untuk ketiga kalinya, "Mengapa kamu tidak menikah?"
Sahabat tersebut melanjutkan ceritanya: "Lalu aku berkata, 'Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku!' Nabi s.a.w. menjawab, 'Pergilah kepada suku tertentu dan katakan bahwa Rasulullah menyuruhmu menikahi putri mereka.'"
Sahabat itu berkata lagi, "Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki apa-apa!"
Kemudian Rasulullah s.a.w. berkata kepada para sahabat lainnya, "Kumpulkanlah emas seberat sebutir biji untuk saudaramu ini!"
Mereka pun mengumpulkan emas dan membawanya ke suku tersebut, sehingga sahabat itu bisa menikah. Nabi s.a.w. kemudian berkata, "Adakanlah pesta!" Lalu mereka mengumpulkan seekor kambing dari para sahabat untuk pesta pernikahan.
Penjelasan yang berulang ini menekankan keutamaan pernikahan dan menunjukkan pentingnya menikah.
Diceritakan bahwa sebagian hamba Allah dari umat-umat terdahulu beribadah lebih banyak dibandingkan dengan orang lain pada masanya. Ketika dia menceritakan ibadahnya kepada nabi pada zamannya, nabi tersebut berkata, "Orang yang terbaik adalah yang tidak meninggalkan sunnah."¹²
¹² Imam Al Ghazali, "Ihya' Al Ghazali..., hlm. 361.
Orang yang banyak beribadah itu mendengar nasihat tersebut dan bertanya kepada nabinya. Nabi itu menjawab, "Kamu belum menikah!" Orang tersebut menjawab, "Aku tidak mengharamkan pernikahan, tetapi aku miskin dan bergantung pada orang lain."
Nabi itu kemudian berkata, "Aku akan menikahkanmu dengan putriku." Lalu Nabi tersebut menikahkannya dengan putrinya.
Bisyr bin Al-Harts berkata, "Ahmad bin Hanbal lebih baik dariku dalam tiga hal: dia mencari nafkah yang halal untuk dirinya dan orang lain, sedangkan aku hanya untuk diriku sendiri; dia lebih aktif dalam pernikahan, sedangkan aku tidak; dan ada yang mengatakan bahwa Imam Ahmad menikah pada hari kedua setelah ibu dari anaknya, Abdullah, meninggal, dan beliau berkata, 'Aku tidak suka bermalam sebagai orang bujang.'"
Ketika orang berkata kepada Bisyr, "Banyak orang berbicara tentang Anda karena Anda tidak menikah, dan mereka mengatakan bahwa Anda meninggalkan sunnah," Bisyr menjawab, "Katakan kepada mereka, aku sibuk dengan yang wajib, sehingga tidak sempat mengerjakan yang sunah."
Suatu kali, seseorang mencacinya karena tidak menikah, dan Bisyr menjawab, "Yang menghalangiku dari menikah adalah firman Allah Ta'ala:
- وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ - البقره ٢٢٨ ۲۲۸
- (Wa lahunna mitslulladzii 'alaihinna bil-ma'ruuf).
- Artinya: "Perempuan-perempuan itu mempunyai hak, seimbang dengan kewajibannya, yaitu secara patut". (Surah Al-Baqarah, ayat 228)."
Ketika hal ini disampaikan kepada Ahmad bin Hanbal, beliau berkata, "Di mana bisa ditemukan orang seperti Bisyr? Dia memiliki ketajaman seperti ujung tombak."¹³
¹³ Kalimat tersebut bermaksud memuji Bisyr sebagai seseorang yang memiliki ketegasan, ketajaman pikiran, dan integritas yang luar biasa. Ahmad bin Hanbal menggambarkan Bisyr sebagai seseorang yang sangat bijaksana dan teguh dalam prinsipnya, sehingga sulit menemukan orang lain yang setara dengannya. Perbandingan dengan "ujung tombak" menunjukkan bahwa Bisyr sangat fokus, tajam, dan tegas dalam menjalankan keyakinannya.
Diriwayatkan bahwa seseorang bermimpi bertemu dengan Bisyr dan bertanya kepadanya, "Apa yang Allah lakukan kepadamu?" Bisyr menjawab, "Tempatku ditinggikan di surga, aku didekatkan kepada para nabi, tetapi aku tidak sampai ke tempat orang-orang yang berkeluarga (yang menikah)."
Dalam riwayat lain, Bisyr berkata, "Allah berfirman kepadaku: 'Aku tidak suka bahwa engkau menemui-Ku sebagai orang bujang.'"
Orang yang bermimpi itu kemudian bertanya kepada Bisyr, "Apa yang terjadi pada Abu Nashr At-Tammar?" Bisyr menjawab, "Dia ditinggikan di atasku dengan tujuh puluh tingkat."¹⁴
¹⁴ Imam Al Ghazali, "Ihya' Al Ghazali..., hlm. 362.
Kami bertanya, "Mengapa Abu Nashr At-Tammar diangkat lebih tinggi, padahal kami melihat engkau di atasnya?"
Bisyr menjawab, "Karena kesabarannya dalam berumah tangga dan berkeluarga."
Sufyan bin 'Uyaynah berkata, "Banyak istri bukanlah bagian dari duniawi, karena Ali r.a. adalah sahabat Rasulullah s.a.w. yang paling zuhud, namun beliau memiliki empat istri dan tujuh belas gundik. Menikah adalah sunnah yang diwariskan dan merupakan bagian dari akhlak para nabi."
Seorang laki-laki berkata kepada Ibrahim bin Adham r.a., "Anda beruntung karena telah menyelesaikan semua urusan untuk beribadah dengan tetap membujang!"
Ibrahim bin Adham menjawab, "Kesulitan yang kamu hadapi karena berkeluarga lebih mulia daripada semua yang aku miliki."
Laki-laki itu kemudian bertanya, "Mengapa Anda tidak menikah?" Ibrahim menjawab, "Aku tidak membutuhkan wanita, dan aku tidak ingin memperdaya wanita dengan diriku."
Beberapa ulama berkata, "Keutamaan orang yang berkeluarga dibandingkan dengan orang yang membujang, seperti keutamaan orang yang pergi berjihad dibandingkan dengan yang duduk diam. Satu rakaat dari orang yang berkeluarga lebih utama daripada tujuh puluh rakaat dari orang yang membujang."
Adapun hadits yang memperingatkan tentang pernikahan, Nabi s.a.w. bersabda: "Manusia terbaik setelah dua ratus tahun (setelah masa Nabi s.a.w.) adalah orang yang hidup sederhana, tidak berkeluarga, dan tidak memiliki anak."¹⁵
¹⁵ Diriwayatkan oleh Abu Yu'la dari Hudzaifah, hadits ini lemah.
Nabi s.a.w. juga bersabda: "Akan datang suatu masa ketika seseorang akan hancur karena pengaruh istri, kedua orang tua, dan anak-anaknya. Mereka akan membuatnya merasa rendah karena kemiskinan dan membebani dengan tanggung jawab yang tidak sanggup dipikul. Akibatnya, dia akan terjerumus ke dalam keadaan yang merusak agamanya, dan akhirnya dia binasa."¹⁶
¹⁶ Diriwayatkan oleh Al-Khattabi dari Ibnu Mas'ud, hadits ini lemah.
Dalam sebuah hadits disebutkan: "Memiliki sedikit keluarga adalah salah satu bentuk kekayaan, sedangkan memiliki banyak keluarga adalah salah satu bentuk kemiskinan."¹⁷
¹⁷ Diriwayatkan oleh Al-Quadla'i dari 'Ali dan Abu Mansur Ad-Dailami dari Abdullah bin Umar. Kedua riwayat ini memiliki sanad yang lemah.
Ketika Abu Sulaiman Ad-Darani ditanya tentang pernikahan, ia menjawab, "Bersabar untuk tidak menikah lebih baik daripada bersabar menghadapi wanita. Namun, bersabar menghadapi wanita lebih baik daripada bersabar menghadapi neraka."¹⁸
¹⁸ Kalimat tersebut berarti:
- Menahan diri dari menikah (jika memang merupakan pilihan atau kebutuhan) dianggap lebih baik daripada bersabar menghadapi masalah atau tantangan yang timbul dari berhubungan dengan wanita.
- Namun, jika sudah menikah, bersabar menghadapi masalah dalam hubungan dengan wanita dianggap lebih baik daripada menghadapi siksaan neraka.
- Dengan kata lain, kesabaran dalam konteks yang lebih ringan dianggap lebih baik daripada kesabaran dalam situasi yang lebih berat, dan kesabaran dalam menghadapi kesulitan hubungan dianggap lebih baik daripada penderitaan yang lebih besar.
Abu Sulaiman juga mengatakan: "Kehidupan sendirian memberikan rasa manis dalam amal dan ketenangan hati yang tidak didapatkan oleh orang yang berkeluarga."
Ia juga berkata, "Aku tidak pernah melihat seorang sahabat kita yang menikah dan tetap berada pada tingkatan yang sama seperti sebelumnya."
Beliau menambahkan, "Ada tiga hal yang menunjukkan kecenderungan seseorang kepada dunia: mencari kehidupan yang nyaman, menikahi perempuan, atau menulis hadits."
Al-Hasan r.a. berkata, "Jika Allah menginginkan kebaikan bagi seorang hamba, Dia tidak akan mengganggu hamba tersebut dengan urusan keluarga dan harta." Ibnu Abil-Hawari menjelaskan bahwa meskipun ada perdebatan tentang hadits tersebut, pada akhirnya mereka setuju bahwa urusan keluarga dan harta tetap ada, tetapi tidak mengganggu seseorang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah.
Abu Sulaiman Ad-Darani juga mengatakan, "Jika keluarga, harta, dan anak menghalangi kamu dari beribadah kepada Allah, itu adalah kutukan bagi dirimu."
Kesimpulannya, penilaian terhadap pernikahan tidak bisa dilakukan secara mutlak tanpa syarat. Ada hadits-hadits yang mendukung pernikahan baik secara mutlak maupun dengan syarat. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan baik dan buruk dari pernikahan.¹⁹
¹⁹ Imam Al Ghazali, "Ihya' Al Ghazali..., hlm. 364.