Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy - Hukum Meninggalkan Shalat Part 2

Tidak ada komentar

Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy - Hukum Meninggalkan Shalat

Mengenai kesimpulan pertama (1)—Jika seseorang meninggalkan shalat karena malas atau melakukan dosa karena ketidaktahuan, tetapi merasa menyesal dan ingin bertaubat, imannya tidak hilang dan ia tidak keluar dari agama, meskipun ia melakukannya berulang kali—Hasbi Ash Shiddieqy menyatakan bahwa untuk memahami cara mencapai kesimpulan ini, kita harus terlebih dahulu memahami apa itu iman dan apa itu kufur, agar penilaian kita tepat.

Agar kita dapat dengan tepat dan benar menentukan apakah seseorang yang meninggalkan shalat masih beriman atau tidak, perhatikanlah penjelasan berikut ini dengan seksama:

Iman dan kufur adalah dua hal yang berlawanan; jika salah satu muncul dan menang, yang lain akan hilang, seperti gelap dan terang atau ada dan tidak ada.

Iman itu seperti pohon yang memiliki akar, batang, dan cabang. Setiap bagiannya juga disebut iman. Misalnya, pohon asam: akarnya disebut akar asam, batangnya disebut batang asam, cabangnya disebut cabang asam, dan daunnya disebut daun asam.

Shalat adalah bagian penting dari iman, begitu juga zakat, haji, dan puasa. Berbagai amalan batin seperti malu dan tawakal (menyerahkan diri) kepada Allah, hingga membuang kotoran dari jalan, semuanya adalah bagian dari iman.

Cabang-cabang iman memiliki tingkat penting yang berbeda. Ada yang sangat penting sehingga jika hilang, iman juga hilang, seperti syahadat. Ada yang jika hilang, iman tidak hilang, seperti membersihkan kotoran dari jalan.

Antara syahadat dan membersihkan kotoran dari jalan, masih ada banyak bagian iman lainnya. Beberapa bagian setara pentingnya dengan syahadat, sementara yang lain setara pentingnya dengan membersihkan kotoran dari jalan.⁹

⁹ Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, "Pedoman Shalat", Cetakan ke-23 (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994), hlm. 572.

Begitu juga dengan kufur. Kufur juga memiliki akar, cabang, dan ranting. Setiap cabangnya juga disebut kufur, seperti sesat adalah cabang dari kufur, sedangkan benar adalah cabang dari iman. Tidak punya rasa malu adalah cabang dari kufur, sementara malu adalah cabang dari iman.

Shalat, zakat, puasa, dan haji adalah cabang besar dari iman. Iman dan kufur terbagi menjadi dua: ucapan (qauly) dan perbuatan (fi'ly).

Di antara cabang-cabang ucapan (qauly) dari iman, apabila ada yang hilang, maka iman juga hilang. Begitu juga di antara cabang-cabang perbuatan (fi'ly) dari iman, apabila ada yang hilang, maka bisa meruntuhkan iman.

Cabang-cabang kufur juga sama, baik ucapan (qauly) maupun perbuatan (fi'ly). Seseorang bisa menjadi kufur dengan mengucapkan kalimat kufur, bersujud kepada berhala, atau menghina Al-Qur'an.

Iman terdiri dari ucapan (qaul) dan perbuatan (amal). Ucapan terbagi menjadi dua: ucapan hati (qaulul-qalbi), yaitu keyakinan, dan ucapan lidah (qaulul-lisan), yaitu melafalkan kalimat-kalimat Islam. Perbuatan juga terbagi menjadi dua: perbuatan hati ('amalul-qalbi), yaitu niat dan ikhlas, dan perbuatan anggota tubuh ('amalul-jawarih), yaitu shalat, puasa, dan sebagainya.

Jika semua cabang hilang atau runtuh, maka pokok dan batangnya juga hilang atau runtuh. Iman dianggap hancur jika cabang tashdiequl-qalbi (keyakinan hati) hilang. Jika hati tidak lagi membenarkan atau mempercayai, maka semua cabang lainnya juga runtuh. Karena jika tashdiequl-qalbi hilang, semua bagian lainnya menjadi tidak berguna. Tashdiequl-qalbi adalah syarat agar yang lain bisa berdiri. Hal ini juga berlaku jika amalan hati hilang—menurut Ahlus-Sunnah.

Setelah hilangnya iman akibat hilangnya amalan-amalan hati, maka tidaklah mengherankan lagi jika iman hilang disebabkan hilangnya amalan-amalan anggota tubuh yang besar.¹⁰

¹⁰ Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, "Pedoman Shalat", Cetakan ke-23 (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994), hlm. 573.

Kufur terbagi menjadi kufur-juhudy dan kufur-'amaly.

Kufur-juhudy adalah mengingkari hal-hal yang diketahui diajarkan oleh Rasulullah SAW dan menentangnya, seperti mengingkari nama-nama atau sifat-sifat Allah SWT. Kufur-juhudy juga disebut kufur-i'tiqady. Kufur-juhudy (kufur-i'tiqady) ini bertentangan dengan iman dan menghilangkan iman.

Kufur-'amaly bisa bertentangan dengan iman, seperti bersujud kepada berhala, menghina Al-Qur'an, membunuh Nabi, atau menyakitinya. Ada juga tindakan yang bertentangan dengan iman tetapi tidak mengeluarkan pelakunya dari agama, seperti membunuh, mencuri, berzina, dan meminum alkohol. Meskipun pelakunya dianggap kufur, mereka tidak keluar dari agama.

Meninggalkan shalat termasuk dalam kufur-'amaly.

Walhasil, kufur memiliki berbagai tingkat, seperti nifaq, syirik, fusuq, dan dhulm, yang juga memiliki tingkatan masing-masing.

Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa kufur-i'tiqady adalah lawan dari iman-i'tiqady, dan kufur-'amaly adalah lawan dari iman-'amaly.

Kufur, iman, fujur (fusuq), taqwa, syirik, tauhid, dan nifaq bisa saja ada pada satu orang. Ahlus-Sunnah membenarkan hal ini berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan Ijma'ul-Shahabah¹¹, tetapi golongan khawarij dan qudriyah tidak setuju.

Kata Al-Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali):

"Orang yang berzina, mencuri, meminum alkohol, dan merampas harta, masih dianggap sebagai Muslim tetapi bukan mukmin sejati. Orang yang melakukan perbuatan tersebut yang bukan dosa besar disebut mukmin naqishul-iman (mukmin yang kurang iman)."

¹¹ Ijma'ul-Shahabah adalah kesepakatan atau konsensus para sahabat Nabi Muhammad SAW mengenai suatu masalah atau ajaran Islam. Ijma'ul-Shahabah dianggap sebagai salah satu sumber hukum Islam yang penting setelah Al-Qur'an dan Hadis. Kesepakatan ini digunakan untuk menetapkan hukum atau prinsip-prinsip agama yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur'an atau Hadis.

Dari berbagai keterangan ini, dapat disimpulkan bahwa semua maksiat dianggap sebagai cabang kufur dan semua ketaatan dianggap sebagai cabang iman.

Seseorang kadang-kadang memiliki satu, dua, atau tiga aspek dari iman dan masih disebut mukmin. Namun, ada kalanya seseorang tidak dianggap mukmin meskipun memiliki beberapa aspek iman.¹²

¹² Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, "Pedoman Shalat", Cetakan ke-23 (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994), hlm. 574.

Tidak lazim menyebut seseorang sebagai mukmin hanya karena dia memiliki satu aspek iman, sama halnya dengan tidak lazim menyebut seseorang sebagai kafir hanya karena dia melakukan satu perbuatan kufur. Biasanya, seseorang hanya dikatakan telah melakukan perbuatan kufur tanpa langsung dianggap kafir secara keseluruhan, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW.:

"Siapa yang meninggalkan shalat, berarti dia telah melakukan perbuatan kufur," (H.R. Ibnu Hibban; At-Targhib 1: 348).

Karena itu, jika seseorang melakukan perbuatan kufur, dia tidak langsung dianggap kafir.

Seseorang yang melakukan perbuatan haram disebut telah berbuat fusuq, tetapi tidak langsung disebut fasiq. Setelah banyak melakukan fusuq, barulah disebut fasiq.

Begitu juga dengan pezina, pencuri, peminum alkohol, dan perampas. Mereka tidak lagi disebut mukmin, meskipun masih memiliki iman, dan tidak disebut kafir, meskipun melakukan perbuatan kufur.

Dari penjelasan singkat ini, jelas bahwa orang yang terus-menerus meninggalkan shalat tidak disebut kafir, tapi juga tidak disebut mukmin. Namun, apakah iman yang dimilikinya bisa menyelamatkannya dari neraka? Itu masalah lain.

Orang yang tidak mengerjakan shalat tidak dihukum mati, tetapi hanya diberikan hukuman ta'zir sebagai bentuk peringatan atau disiplin.

"Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat serta mengeluarkan zakat, maka lepaskanlah mereka." (Q.S. At-Taubah, 9:5).

Ayat ini tidak memerintahkan kita untuk membunuh orang yang tidak mengerjakan shalat dan juga tidak menunjukkan bahwa seorang Muslim yang meninggalkan shalat karena malas telah menjadi murtad. Jika tidak segera bertaubat setelah disuruh, mereka tidak langsung dibunuh.

Ayat ini memerintahkan kita untuk berhenti memerangi orang musyrik jika mereka telah melakukan tiga perkara¹³ yang disebutkan di atas.¹⁴

¹³ Tiga perkara di atas itu maksudnya adalah mengucapkan "Lailaha illallah," mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat.
¹⁴ Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, "Pedoman Shalat", Cetakan ke-23 (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994), hlm. 575.

Rasulullah SAW juga bersabda:

"Aku diperintahkan untuk memerangi orang-orang musyrik sampai mereka mengucapkan 'Lailaha illallah,' mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat." (H.R. An-Nasa'i dari Ibn Umar; An-Nail, 1:364)

Hadits ini tidak menunjukkan kewajiban membunuh orang yang tidak shalat, tetapi menegaskan kewajiban memerangi orang musyrik sampai mereka mengucapkan kalimat tauhid, mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat. Jika mereka sudah melakukan hal tersebut, mereka tidak diperangi lagi.¹⁵

¹⁵ Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, "Pedoman Shalat", Cetakan ke-23 (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994), hlm. 576.


Daftar Isi:

Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy - Hukum Meninggalkan Shalat

Komentar