Sufa'at M - Sejarah Kebatinan di Jawa Part 1: Masa Hindu-Budha

Tidak ada komentar

Sufa'at M - Sejarah Kebatinan di Jawa

Menurut para ahli antropologi, suku bangsa Wedda, yang memiliki ciri fisik berbadan kecil dan berkulit coklat, dianggap sebagai penduduk pertama yang mendiami Indonesia. Beberapa kelompok keturunan dari suku ini yang masih ada hingga sekarang adalah suku Mamak dan Kubu di Sumatera, serta suku Toala di Sulawesi.


BAB II

SEJARAH PERKEMBANGAN KEBATINAN DI PULAU JAWA

1. Masa kerajaan-kerajaan Hindu

Sekitar 3000 tahun sebelum Masehi, gelombang pertama orang-orang Melayu tiba di Indonesia. Mereka berasal dari pegunungan Yunan, di daerah hulu sungai Tiongkok Selatan. Karena didesak oleh musuh-musuh mereka, mereka pindah ke selatan, menuju Indo-Cina. Namun, tidak semua menetap di sana; sebagian dari mereka terus bermigrasi ke selatan dan akhirnya menyebar ke berbagai kepulauan yang luas, dari Madagaskar di barat (pantai timur Afrika) hingga Pulau Paas di timur (di Laut Pasifik). Orang Indonesia adalah bagian dari kelompok bangsa yang bermigrasi tersebut. Selama 2000 tahun berikutnya, beberapa gelombang imigran Melayu datang ke Indonesia. Mereka hidup dari bertani dan sudah mengenal sistem persawahan. Agama mereka adalah Animisme dan Dinamisme. Animisme adalah kepercayaan bahwa semua benda memiliki roh, sedangkan Dinamisme adalah kepercayaan bahwa segala sesuatu memiliki kekuatan.¹

¹ Sufa'at M, "Beberapa Pembahasan tentang Kebatinan", Cetakan Pertama (Yogyakarta: Kota Kembang, 1985), hlm. 33.

Mereka yang menetap di Pulau Jawa kemudian terpengaruh oleh lingkungan alamnya, seperti gunung-gunung, sungai-sungai, udara, tumbuh-tumbuhan, dan suara burung. Dari pengaruh ini, mulailah berkembang benih kebudayaan Jawa, yang merupakan hasil interaksi antara para pendatang dan alam Jawa. Oleh karena itu, orang-orang Melayu yang datang kemudian dianggap sebagai nenek moyang orang Jawa.

Sekitar tahun 400 M, orang-orang India datang ke Pulau Jawa untuk berdagang. Mereka juga membawa agama Hindu dan Buddha. Akibatnya, kedua agama tersebut berkembang di Jawa, dan kerajaan-kerajaan yang menganut Hindu atau Buddha mulai berdiri. Meski begitu, dalam masyarakat, kedua agama ini biasanya hidup berdampingan dengan damai, meskipun kerajaan tersebut mungkin secara resmi menganut salah satu dari kedua agama itu (kerajaan Hindu atau kerajaan Budha). Bahkan, di Jawa, terjadi percampuran antara agama Hindu dan Buddha yang dikenal sebagai agama Siwa-Buddha. Beberapa kerajaan di Jawa yang menganut agama Hindu atau Buddha, antara lain:

  1. Kerajaan Sanjaya di Jawa Tengah (abad VIII M.), yang menganut agama Hindu.
  2. Kerajaan Syailendra di Jawa Tengah (abad VIII M.), yang menganut agama Buddha.
  3. Kerajaan Dinasti Empu Sindok di Jawa Timur (929-1042 M.), yang menganut agama Hindu Siwa, namun juga mendukung perkembangan agama Buddha.
  4. Kerajaan Kediri dan Singosari di Jawa Timur (1042-1292 M.), yang menganut agama Hindu Wisnu, tetapi juga mendukung kepercayaan primitif berkembang kembali, di mana raja dianggap sebagai pusat kekuatan magis.
  5. Kerajaan Majapahit di Jawa Timur (1253-1528 M.), yang menganut agama Hindu Siwa, tetapi juga mendukung sinkretisme, yaitu perpaduan berbagai agama, yang mencapai puncaknya pada masa itu.²

² Sufa'at M, "Beberapa Pembahasan tentang Kebatinan", Cetakan Pertama (Yogyakarta: Kota Kembang, 1985), hlm. 34.

Menurut Dr. Harun Hadiwiyono, inti ajaran agama Hindu dan Buddha (Mahayana) di Jawa pada waktu itu mengajarkan bahwa:

  1. Tuhan adalah Realitas Tertinggi, yang bersifat mutlak dan tidak dapat dipahami oleh akal manusia. Tuhan pada dasarnya adalah halus, tidak berwujud, esa, tidak terbagi, transenden, dan bebas dari segala hubungan atau sifat. Segala bentuk hubungan yang ada terjadi karena penjelmaan Tuhan.
  2. Alam semesta dan segala isinya berasal dari Yang Mutlak, baik melalui unsur-unsur materi maupun melalui unsur-unsur suara, yang menjadi benih dari mantra.
  3. Manusia, baik secara fisik maupun rohani, adalah penjelmaan dari Yang Mutlak. Oleh karena itu, Yang Mutlak mencakup seluruh bagian manusia. Tidak ada perbedaan antara Yang Mutlak dan manusia. Jiwa manusia sebenarnya adalah bagian dari Yang Mutlak, menjadi terbatas karena terikat oleh tubuh, baik tubuh halus maupun kasar.
  4. Jika seseorang merasa memiliki "jiwa perorangan" dan tidak menyadari bahwa sebenarnya hanya Yang Mutlak yang ada, orang tersebut akan terus terjebak dalam siklus kelahiran kembali. Untuk keluar dari siklus ini, seseorang harus menyadari bahwa dirinya sebagai individu tidak ada; yang ada hanyalah Yang Mutlak. Jika pemahaman ini tercapai, maka setelah kematian, orang tersebut akan bersatu dengan Yang Mutlak, seperti air yang bergabung dengan lautan.³

Dalam pada itu, keluarga istana dan pejabat pemerintahan (para priyayi) sangat dipengaruhi oleh ajaran Hindu-Buddha yang mistis, karena mereka adalah pendiri kerajaan-kerajaan yang menganut agama tersebut. Meskipun begitu, mereka juga masih memegang kepercayaan-kepercayaan dari Animisme/Dinamisme dan memiliki pemikiran-pemikiran yang khas dari budaya Jawa.⁴

³ Dr. Harun Hadiwiyono, "Agama Hindu dan Budha", (Jakarta: B.P.K., 1971), hlm. 113.
⁴ Sufa'at M, "Beberapa Pembahasan tentang Kebatinan", Cetakan Pertama (Yogyakarta: Kota Kembang, 1985), hlm. 35.

Golongan rakyat kecil (wong cilik) juga terpengaruh oleh mistik Hindu-Buddha, tetapi tidak sedalam golongan priyayi. Ini mungkin karena mereka terlalu sibuk mencari nafkah sehingga tidak punya waktu untuk mendalami ajaran mistik Hindu-Buddha. Oleh karena itu, kepercayaan mereka tetap berlandaskan Animisme-Dinamisme, dengan tambahan pemikiran khas budaya Jawa. Mistik Hindu-Buddha kurang berpengaruh dalam kehidupan mereka.

Masa Jawa-Hindu (periode kerajaan-kerajaan Hindu/Buddha) meninggalkan kesan yang mendalam bagi masyarakat Jawa. Selain berlangsung lama, masa ini dianggap telah menghasilkan kerajaan-kerajaan besar, candi-candi megah, pujangga-pujangga terkenal, dan kitab-kitab yang memiliki pengaruh besar.

Kerajaan Singosari dan Kerajaan Majapahit adalah dua kerajaan yang sangat dibanggakan oleh orang Jawa. Singosari, yang dipimpin oleh Raja Kertanegara, adalah kerajaan besar di Jawa Timur dengan kekuasaan hingga Jambi di Sumatera. Sementara Majapahit, yang dipimpin oleh Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, menguasai seluruh Nusantara hingga Semenanjung Malaka. Candi Borobudur dan Candi Prambanan, yang megah dan indah, adalah peninggalan dari masa tersebut dan masih menjadi kebanggaan orang Jawa hingga sekarang. Dari masa tersebut juga mewarisi buku-buku penting, seperti:

  1. Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa, yang merupakan adaptasi dari kitab Mahabharata dan menggambarkan Raja Erlangga sebagai Arjuna yang bertapa untuk mencari pusaka.
  2. Pararaton, yang menceritakan kehidupan Ken Arok dan asal-usul raja-raja besar di Jawa.
  3. Negara Kertagama karya Empu Prapanca, yang menggambarkan kehidupan dan keadaan di istana serta negara Majapahit.
  4. Sutasoma karya Empu Tantular, serta kitab-kitab lainnya.

Selain itu, wayang juga sudah dikenal pada masa itu, meskipun belum sebagus sekarang.⁵

Singkatnya, masa Jawa-Hindu yang dimulai pada abad IV dan berlanjut hingga akhir abad XVI M sangat mengesankan bagi orang Jawa dan meninggalkan kebanggaan mendalam. Kehebatan masa ini membuat orang Jawa sangat mengagungkan Kerajaan Majapahit dan kurang simpati terhadap Kerajaan Demak-Islam, yang dianggap telah menggantikan Majapahit.⁶

⁵ Sufa'at M, "Beberapa Pembahasan tentang Kebatinan", Cetakan Pertama (Yogyakarta: Kota Kembang, 1985), hlm. 36.
⁶ Ibid, hlm. 37.


Daftar Isi:


Sufa'at M - Sejarah Kebatinan di Jawa

Komentar