Sufa'at M - Sejarah Kebatinan di Jawa Part 2: Islam Masuk

Tidak ada komentar

Sufa'at M - Sejarah Kebatinan di Jawa

Pada abad ke-13 Masehi, Islam mulai masuk ke Indonesia. Agama ini dibawa oleh orang-orang Persia dan Gujarat. Pertama, orang Persia menyebarkan Islam ke Gujarat, dan kemudian, baik orang Persia maupun orang Gujarat menyebarkannya ke Indonesia, baik secara bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri.


SEJARAH PERKEMBANGAN KEBATINAN DI PULAU JAWA

2. Agama Islam Masuk ke Pulau Jawa

Persia adalah bekas kerajaan besar yang sebanding dengan Romawi. Mereka adalah saingan dan musuh utama Romawi. Persia menganut agama Zoroaster atau Majusi, sedangkan Romawi beragama Nasrani. Setelah Persia dikalahkan oleh kaum Muslim, banyak orang Persia yang beralih ke Islam. Tetapi, sisa-sisa kepercayaan lama mereka masih ada. Hal ini sulit diterima oleh para ahli fiqh, tetapi lebih dimaklumi oleh para ahli Tasawuf dan pengikut Syi'ah. Akibatnya, banyak orang Persia yang menjadi pengikut Tasawuf atau Syi'ah. Salah satu tokoh penting adalah Al Hallaj, seorang sufi Persia yang dihukum mati oleh Khalifah Al-Muktadir billah karena mengajarkan ajaran yang dianggap menyamakan manusia dengan Tuhan, yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pemikiran Al Hallaj ini juga memengaruhi ajaran Syekh Siti Jenar di Jawa.¹

¹ Sufa'at M, "Beberapa Pembahasan tentang Kebatinan", Cetakan Pertama (Yogyakarta: Kota Kembang, 1985), hlm. 37.

Islam yang telah bercampur dengan unsur mistik (Tasawuf) dari Persia singgah di Gujarat, India. Di sana, Islam bertemu dan berkembang bersama agama Hindu yang juga mistis. Oleh karena itu, para penyebar Islam pertama di Indonesia kemungkinan besar adalah para ahli Tasawuf dan pengikut Syi'ah. Namun, pengaruh Syi'ah di Indonesia tidak sebesar pengaruh Tasawuf.

Perdagangan mendorong orang-orang dari Persia dan Gujarat untuk mengenal Indonesia. Karena Indonesia berada di jalur perdagangan antara Tiongkok dan India, jalur ini kemudian dilanjutkan ke Timur Tengah melalui darat, dan terus ke Eropa.

Pada abad itu, sebuah kota di Sumatera Utara, yaitu Perlak, menjadi tempat pertama bagi pedagang Muslim dari Persia dan Gujarat berlabuh. Karena itu, Perlak dianggap sebagai tempat awal penyebaran Islam di Indonesia. Tak lama setelah tahun 1292, muncul sebuah kerajaan Islam di barat Perlak yang berkembang pesat dalam perdagangan. Ibukota kerajaan ini awalnya berada di Samudra, tetapi kemudian pindah ke Pasai, sehingga dikenal sebagai Kerajaan Samudra Pasai. Pasai menjadi pelabuhan terbesar pada masa itu, tetapi pada abad ke-15, peran pentingnya diambil alih oleh Malaka, yang lokasinya lebih strategis.

Islam masuk ke Pasai dibawa oleh para ahli Tasawuf, dan hal ini terlihat dari munculnya ulama-ulama Sufi besar di daerah ini, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdur Rauf Singkel, dan Nuruddin Ar Raniri.²

² Sufa'at M, "Beberapa Pembahasan tentang Kebatinan", Cetakan Pertama (Yogyakarta: Kota Kembang, 1985), hlm. 38.

Ini sesuai dengan data sejarah yang menunjukkan bahwa Islam masuk ke Indonesia bukan oleh ulama Fiqh, tetapi oleh ulama Sufi atau ahli Tarekat. Dalam bukunya "The Spread of Islam in Indonesia," Dr. Mukti Ali menulis sebagai berikut:

    "Salah satu alasan suksesnya penyebaran Islam di Indonesia yang dilupakan oleh Brouwer adalah bahwa Islam dibawa oleh ahli-ahli mistik, yang sangat menarik bagi orang-orang Indonesia. Setelah kedatangan Islam, orang Indonesia lebih tertarik pada ilmu mistik (tasawuf) dan praktik-praktiknya dibandingkan dengan teologi atau hukum Islam. Di Indonesia, bukan para ahli teologi atau hukum yang terkenal, melainkan tokoh-tokoh mistik (Shaykh al tariqah). Misalnya sarjana-sarjana muslim yang terkenal pada akhir abad keenam belas di Sumatera utara adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Nuruddin al-Raniri, dan Abdur Rauf Singkel. Juga di Jawa terdapat para wali yang juga seorang sufi."³

³ Sufa'at M, "Beberapa Pembahasan tentang Kebatinan", Cetakan Pertama (Yogyakarta: Kota Kembang, 1985), hlm. 39.

Berbicara tentang perdagangan, ada cerita bahwa seorang bangsawan dari Blambangan, Jawa Timur, yang bernama Parameswara, melarikan diri ke Malaka karena terjadi keributan di Blambangan. Kemungkinan besar bangsawan tersebut beragama Hindu, karena Blambangan pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Majapahit yang beragama Hindu. Malaka juga dipengaruhi oleh Majapahit, sehingga masuk akal jika bangsawan tersebut memilih melarikan diri ke Malaka.

Parameswara menyadari bahwa Malaka memiliki potensi untuk menjadi pelabuhan besar di Asia Tenggara, jadi dia mencoba menarik para pedagang yang biasanya berlabuh di Pasai untuk pindah ke Malaka. Awalnya, dia menggunakan kekerasan dengan bantuan bajak laut untuk memaksa mereka datang. Namun, setelah para pedagang tiba di Malaka, mereka menyadari bahwa pelabuhan Malaka lebih baik daripada Pasai, terutama karena kondisi angin yang lebih menguntungkan. Akibatnya, para pedagang mulai datang ke Malaka dengan sukarela. Pada tahun 1405, Parameswara diakui sebagai raja Malaka oleh Kaisar Tiongkok, dan enam tahun kemudian ia bersama keluarganya mengunjungi Tiongkok. Menurut cerita, sebelum meninggal pada tahun 1414, dia masuk Islam dan berganti nama menjadi Iskandar Syah. Akhirnya, Malaka yang dulunya hanya sebuah desa nelayan, pada abad ke-15 Masehi telah berkembang menjadi pelabuhan yang sibuk dalam jalur perdagangan antara Tiongkok dan India.⁴

⁴ Sufa'at M, "Beberapa Pembahasan tentang Kebatinan", Cetakan Pertama (Yogyakarta: Kota Kembang, 1985), hlm. 40.

Pedagang-pedagang Muslim dari Persia dan Gujarat itupun menyebarkan agama Islam di Malaka—pelabuhan baru mereka. Sasaran mereka adalah penduduk kota Malaka, termasuk orang Jawa yang beragama Hindu, karena orang Jawa memainkan peran penting dalam menjaga kota tersebut. Selain itu, banyak juga pembuat kapal dan pedagang di Malaka yang berasal dari Jawa. Ketika penguasa Malaka memeluk Islam, orang-orang Jawa di Malaka pun mengikuti, meskipun keislaman mereka masih bercampur dengan sisa-sisa kepercayaan Hindu yang bersifat mistis. Justru karena sifat mistis ini, para pedagang Muslim, yang kebanyakan pengikut Tasawuf (mistik Islam), dapat mendekati mereka. Para pengikut Tasawuf lebih toleran terhadap unsur-unsur agama lain dibandingkan dengan ahli Fiqh. Konsep "Withdatus Syuhud" (mengingat Tuhan ketika melihat ciptaan-Nya) dan "Wihdatul Wujud" (melihat segala sesuatu sebagai perwujudan Tuhan) mendorong sikap toleransi ini.

Demikianlah orang-orang Jawa di Malaka memeluk Islam. Tetapi Islam belum banyak mengubah cara berpikir mereka. Mereka masuk Islam bukan karena ingin meninggalkan kepercayaan lama, tetapi karena Islam yang ditawarkan kepada mereka cocok dengan budaya dan kepercayaan yang sudah ada.

Malaka kemudian menjadi pusat penyebaran Islam untuk seluruh Asia Tenggara. Gadis-gadis Jawa yang dibawa dari pelabuhan-pelabuhan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sebelum menikah dengan orang Jawa di Malaka yang sudah masuk Islam, harus masuk Islam terlebih dahulu. Setelah itu, barulah mereka bisa tinggal di Malaka sebagai suami-istri.

Pada masa itu, perdagangan antara Malaka dan Jawa sangat ramai. Orang-orang Jawa yang tinggal di Malaka dan sudah masuk Islam sering pulang pergi ke Jawa. Mereka juga ikut menyebarkan Islam di Jawa, terutama di pantai utara. Keluarga gadis-gadis Jawa yang sudah menikah dengan mereka banyak yang juga masuk Islam. Selain itu, pedagang dari Persia dan Gujarat yang menetap di pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa juga turut membantu penyebaran Islam di Jawa.⁵

⁵ Sufa'at M, "Beberapa Pembahasan tentang Kebatinan", Cetakan Pertama (Yogyakarta: Kota Kembang, 1985), hlm. 41.


Daftar Isi:


Sufa'at M - Sejarah Kebatinan di Jawa

Komentar